Sebelum
kita mengetahui manusia secara dalam, harus kita sadari bahwa manusia itu
memiliki tiga dimensi yaitu: dimensi fisiologis (fisik), dimensi sosiologis, dan
dimensi psikologis. Dari dimensi ini akan timbul pertanyaan, apa sebenarnya
manusia?, apakah manusia makhluk mulia atupun hina dan apa tolak ukurnya? Dari
pertanyaan filosofis ini tentunya tidak sulit untuk memahami kemanusia karena
manusia bukanlah makhluk unik dan langka. Secara dimensi fisik, kita dapat
mengetahui manusia melalui fisiknya dan system organ dalam tubuh melalui ilmu
anatomi. Secara dimensi sosiologi sangat terlihat bahwa manusia tidak bisa
hidup tanpa manusia lainnya, dalam keseharian mereka pasti melibatkan sesama. Tapi
ada satu dimensi yang sulit kita pahami karena dimensi ini berkaitan dengan
spiritual dan intelektual yaitu dimensi psikologis.
Dari
Dimensi psikologis mengarahkan kita untuk berfikir apakah manusia itu mulia
ataupun hina, ini merupakan hasil dari beberapa tranformasi ilmu pengetahuan
dari zaman ke zaman. Berbeda dengan Para expert terdahulu, mereka menggap
manusia sebagai makhluk termulia karena manusia tinggal dipusat tata surya.
Statement ini mengarah pada anggapan plotimius yang mengatakan bahwa bumi
adalah pusat tata surya yang dikelilingi oleh semua benda-benda langit, ini
terjadi karena bumi dihuni oleh mahkluk mulia. Namun dengan perkembangan sains
meruntuhkan pandangan ini dan menumbuhkan anggapan baru bahwa manusia bukanlah
makhluk mulia tapi makhluk yang tak ubahnya seperti mesin, yang jiwanya
diibarkatkan tenaga batu bara dan geraknya seperti mekanisme mesin. Anggapan ini
menghancurkan nilai kemulian yang ada pada diri manusia yang lebih ironisnya
lagi manusia diibartkan materi yang nilainya terbatas. Seiring dengan
permasalahan ini Maka muncullah kaum humanism yang berusaha mengkat harkat
manusia dengan membawa prinsip kekuatan, kekuasaan, kekayaan, pengetahuan
ilmiah dan kebebasan merupakan hal esensial yang membedakan manusia dengan
selainnya.
Dengan
seperti itu berarti fir’un dan jengis khan yang dapat melakukan apa saja
terhadap bangsa yang dijajahnya dianggap mulia?, jika berilmu pengetahuan
merupakan tolak ukur kemanusian bearti albert Einstein yang paling berilmu pada
abad 20 atau para serjana-sarjna itu dianggap lebih mulia dari pada Paulus Yohanes paus II, ibu Tereisa atau
Mahadma Ghandi bagi ummatnya masing-masing?. Sungguh itu merupakan fenomena
ilmu pengetahuan yang sepanjang peradaban manusia masih belum mampu mengubah
watak manusia jahat menjadi mulia. Lalu apa yang menjadi tolak ukur kemanusian
itu?.
Kita kembali pada ideology islam yang
merupakan representative kemulian berdasarkan essensial dari anggapan bahwa
ALLAH adalah zat yang paling mulia dan sempurna. Refleksi dari hal ini
diturunkanNYA manusia teladan yang indah akhlaknya yaitu Nabi muhammada Saw dan
beberapa sahabat yang menjadi tolak ukur kemulian yang menjadi cermin
kesempurnaan sang pencipta. Dari hal ini dapat disimpulkan bahwa tolak ukur dari
kemulian manusia hanya berdasarkan spiritual dan ilmu pengetahuan, dan hal ini
sudah dikatakanNYA pada Qs.Almujadillah : Wahai
orang-orang beriman! Apabila dikatakan kepadamu: “Berilah kelapangan di dalam
majlis-majlis”, maka lapangkanlah niscaya Allah akan memberi kelapangan
untukmu. Dan apabila dikatakan: “Berdirilah kamu”, maka berdirilah, niscaya
Allah akan mengangkat (derajat) orang-orang yang beriman di antaramu dan
orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. dan Allah Maha
mengetahui apa yang kamu kerjakan.11.