Rabu, 05 Juni 2013

Dimensi Nilai Kemanusian







Sebelum kita mengetahui manusia secara dalam, harus kita sadari bahwa manusia itu memiliki tiga dimensi yaitu: dimensi fisiologis (fisik), dimensi sosiologis, dan dimensi psikologis. Dari dimensi ini akan timbul pertanyaan, apa sebenarnya manusia?, apakah manusia makhluk mulia atupun hina dan apa tolak ukurnya? Dari pertanyaan filosofis ini tentunya tidak sulit untuk memahami kemanusia karena manusia bukanlah makhluk unik dan langka. Secara dimensi fisik, kita dapat mengetahui manusia melalui fisiknya dan system organ dalam tubuh melalui ilmu anatomi. Secara dimensi sosiologi sangat terlihat bahwa manusia tidak bisa hidup tanpa manusia lainnya, dalam keseharian mereka pasti melibatkan sesama. Tapi ada satu dimensi yang sulit kita pahami karena dimensi ini berkaitan dengan spiritual dan intelektual yaitu dimensi psikologis.
Dari Dimensi psikologis mengarahkan kita untuk berfikir apakah manusia itu mulia ataupun hina, ini merupakan hasil dari beberapa tranformasi ilmu pengetahuan dari zaman ke zaman. Berbeda dengan Para expert terdahulu, mereka menggap manusia sebagai makhluk termulia karena manusia tinggal dipusat tata surya. Statement ini mengarah pada anggapan plotimius yang mengatakan bahwa bumi adalah pusat tata surya yang dikelilingi oleh semua benda-benda langit, ini terjadi karena bumi dihuni oleh mahkluk mulia. Namun dengan perkembangan sains meruntuhkan pandangan ini dan menumbuhkan anggapan baru bahwa manusia bukanlah makhluk mulia tapi makhluk yang tak ubahnya seperti mesin, yang jiwanya diibarkatkan tenaga batu bara dan geraknya seperti mekanisme mesin. Anggapan ini menghancurkan nilai kemulian yang ada pada diri manusia yang lebih ironisnya lagi manusia diibartkan materi yang nilainya terbatas. Seiring dengan permasalahan ini Maka muncullah kaum humanism yang berusaha mengkat harkat manusia dengan membawa prinsip kekuatan, kekuasaan, kekayaan, pengetahuan ilmiah dan kebebasan merupakan hal esensial yang membedakan manusia dengan selainnya.
Dengan seperti itu berarti fir’un dan jengis khan yang dapat melakukan apa saja terhadap bangsa yang dijajahnya dianggap mulia?, jika berilmu pengetahuan merupakan tolak ukur kemanusian bearti albert Einstein yang paling berilmu pada abad 20 atau para serjana-sarjna itu dianggap lebih mulia dari pada Paulus Yohanes paus II, ibu Tereisa atau Mahadma Ghandi bagi ummatnya masing-masing?. Sungguh itu merupakan fenomena ilmu pengetahuan yang sepanjang peradaban manusia masih belum mampu mengubah watak manusia jahat menjadi mulia. Lalu apa yang menjadi tolak ukur kemanusian itu?.
 Kita kembali pada ideology islam yang merupakan representative kemulian berdasarkan essensial dari anggapan bahwa ALLAH adalah zat yang paling mulia dan sempurna. Refleksi dari hal ini diturunkanNYA manusia teladan yang indah akhlaknya yaitu Nabi muhammada Saw dan beberapa sahabat yang menjadi tolak ukur kemulian yang menjadi cermin kesempurnaan sang pencipta. Dari hal ini dapat disimpulkan bahwa tolak ukur dari kemulian manusia hanya berdasarkan spiritual dan ilmu pengetahuan, dan hal ini sudah dikatakanNYA pada Qs.Almujadillah : Wahai orang-orang beriman! Apabila dikatakan kepadamu: “Berilah kelapangan di dalam majlis-majlis”, maka lapangkanlah niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. Dan apabila dikatakan: “Berdirilah kamu”, maka berdirilah, niscaya Allah akan mengangkat (derajat) orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.11.